Selasa, 13 Agustus 2013




Merdeka dari Ancaman Stagnasi 
Oleh Bapak Agus Suman 

Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya
diterbitkan koran Jawa Pos, Senin 12 Agustus 2013


Kita memang harus mewaspadai dan merdeka dari ancaman perangkap ekonomi pendapatan menengah atau middle income trap (MIT). Ancaman itu bias menyebabkan terjadinya stagnasi perekonomian nasional. Setidaknya bila dicermati dari beberapa variabel makro (inflasi, kurs, neraca perdagangan, dan pertumbuhan ekonomi) menunjukkan gejala yang kurang menggembirakan (catatan redaksi, baca juga Opini Jawa Pos oleh Sofyan Hendra dengan judul Ancaman Stagflasi Jelang Bebebk Lumpuh 5/8, Henny Galla Pradana dengan Memaknai Presepsi Pasar 30/6, dan Dr Abdul Mongid dengan Sinyal Serius Middle Income Trap 29/7).
Ciri negara yang rentan terperangkap dalam MIT, antara lain, (1) rendahnya pendapatan ekspor akibat kalah bersaing dengan negara yang lebih maju, (2) rendahnya produktivitas usaha sehingga tak berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi , dan (3) ketidakmampuan mengendalikan SDA sebagai faktor utama penopang pertumbuhan ekonomi.
MIT biasaya terjadi pada sebuah negara berkembang dengan perekonomian menengah yang mengalami stagnasi sehingga sulit bermetamorfosis menjadi negara maju. Juga seandainya berubah, dibutuhkan waktu yang lama. Tentu tantangan serius bagi Indonesia yang digadang-gadang menjadi “macan dunia” bersama Tiongkok pada 2030.
Perangkap MIT itu merupakan virus yang bisa menimbulkan penyakit ekonomi seperti tingginya inflasi, membengkaknya defisit perdagangan, menurunya pertumbuhan ekonomi, hingga meningkatny angka kemiskinan pengangguran. Karena itu, pemerintah harus segara mencegah menyebarnya virus tersebut.
Ada beberapa uapaya yang dapat dilakukan. Pertama, mengembalikan watak dasar pembangunan ekonomi nasional pada sektor pertanian dan industri pengolahan. Kealpaan terbesar kita selama ini terjadi kerena mengutamakan sektor non-treadeable (sektor keuangan, asuransi, pengangkutan, komunikasi, perdagangan, hotel, restoran) serta mengabaikan sektor treadeble (pertanian dan industri). Imbasnya, sektor pertanian sepanjang 2005-2012, tercatat tumbuh di bawah 4 persen, kecuali 2008 tumbuh 4,83 persen, kontras dengan sektor non-treadeable yang tumbuh di atas 5 persen setiap tahun. Disinyalir itulah penyebab melambatnya penurunan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia meski pertumbuhan ekonomi 2006-2012 diatas 6 persen pertahun (kecuali 2009 tumbuh 4,58 persen).
Hasil pendapatan program perlindungan sosial BPS 2011 menunjukkan, 9,79 juta rumah tangga (RT) atau 60,97 persen dari total RT status kesejahteraan 30 persen terendah menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian (Kadir, 2013). Sektor pertanian juga tumpuan hidup 60 persen angkatan kerja, khususnya di desa. Untuk itu, mendesak dilakukan pengembangan sektor industri berbasis pertanian dan maritim. Tak bisa tidak, wajib ada peningkatan anggaran untuk sektor pertanian (dana riset, subsidi pupuk, benih, obat-obatan hama penyakit, dan peralatan tani).
Kedua, mendorong pembangunan ekonomi kawasan timut Indonesia (KTI). Sesuai dengan amanah konstitusi negara harus mewujudkan masyarakat adildan makmur, artinya kita harus menciptakan keadilan dalam pembungan ekonomi antar wilayah di Indonesia. Tapi saying, pembangunan masih terkonsentrasi di kawasan barat Indonesia (KBI), utamanya Jawa.
Mengacu data BPS 2012, 67,63 persen perputaran ekonomi terpusat di Jawa, 23,77 persen di Sumatera, dan sisanya sebesae 18,6 persen di KTI. Bahkan, pertumbuhan ekonomi di Bali dan Nusa Tenggara dalam tiga tahun terakhir mengalami tren penurunan dari 2,73 persen pada 2010 menjadi 2,65 persen pada 2011 dan turun lagi 2,51 persen pada 2012.Demikian pula di Maluku dan Papua. Dua daerah itu tumbuh 2,42 persen pada 2010 namun turun menjadi 2,13 persen pada 2011 dan turun lagi menjadi 2,06 persenn pada 2012. Ketimpangan juga terjadi pada realisasi investasi. Laporan BKPM semester pertama 2013 menunjukkan, realisasi investasi di Jawa tercatat Rp 109,5 triliun, sedangkan di luar Jawa hanya 83,3 triliun (Sindo, 25/7).
Karena itu, pemerintah harus mendorong sungguh-sungguh pembanguan di luar Jawa, khususnya KTI. Terus dikebut pembangunan infrastruktur (jembatan, pelabuhan, bandara) dan peningkatan kualitas SDM. Juga menciptakan rasa aman bagi investor.
Ketiga, memperluar negara tujuan dan komoditas ekspor. Kelemahan kita selama ini adalah masih terpaku pada pangsa pasar ekspor ke Jepang, Tiongkok, AS, India, dan Eropa, yang rawan bila terjadi guncangan ekonomi di kawasan itu. Seriuslah menggarap pasar Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika, Rusia, dan lain-lain.
Keempat, menigkatkan produktivitas tenaga kerja. Kualitas SDM berkorelasi positif dengan produktivitas tenaga kerja. Untuk itu, meningkatkan kualitas SDM melalui pemberian training pengembangan diri, pemberdayaan karyawan yang berkesinambungan, penggalakan penerapan teknologi modern dalam produksi perlu terus diupayakan karena akan dapat memangkas biaya dan meningkatkan kualitas produksi.
Kelima, terus memberantas korupsi, menekan biaya siluman (pungli, pajak liar, dan lain-lain), serta mencegah ekonomi biaya tinggi secara berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca. Jika ada masukan silahkan beri komentar :)

Sekali lagi Terimakasih