Merdeka dari Ancaman Stagnasi
Oleh Bapak Agus Suman
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya
diterbitkan koran Jawa Pos, Senin 12 Agustus 2013
Kita memang
harus mewaspadai dan merdeka dari ancaman perangkap ekonomi pendapatan menengah
atau middle income trap (MIT).
Ancaman itu bias menyebabkan terjadinya stagnasi perekonomian nasional.
Setidaknya bila dicermati dari beberapa variabel makro (inflasi, kurs, neraca
perdagangan, dan pertumbuhan ekonomi) menunjukkan gejala yang kurang
menggembirakan (catatan redaksi, baca juga Opini
Jawa Pos oleh Sofyan Hendra dengan judul Ancaman Stagflasi Jelang Bebebk Lumpuh 5/8, Henny Galla Pradana
dengan Memaknai Presepsi Pasar 30/6,
dan Dr Abdul Mongid dengan Sinyal Serius
Middle Income Trap 29/7).
Ciri negara yang
rentan terperangkap dalam MIT, antara lain, (1) rendahnya pendapatan ekspor
akibat kalah bersaing dengan negara yang lebih maju, (2) rendahnya produktivitas
usaha sehingga tak berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi , dan (3)
ketidakmampuan mengendalikan SDA sebagai faktor utama penopang pertumbuhan
ekonomi.
MIT biasaya
terjadi pada sebuah negara berkembang dengan perekonomian menengah yang mengalami
stagnasi sehingga sulit bermetamorfosis menjadi negara maju. Juga seandainya
berubah, dibutuhkan waktu yang lama. Tentu tantangan serius bagi Indonesia yang
digadang-gadang menjadi “macan dunia” bersama Tiongkok pada 2030.
Perangkap MIT
itu merupakan virus yang bisa menimbulkan penyakit ekonomi seperti tingginya
inflasi, membengkaknya defisit perdagangan, menurunya pertumbuhan ekonomi,
hingga meningkatny angka kemiskinan pengangguran. Karena itu, pemerintah harus
segara mencegah menyebarnya virus tersebut.
Ada beberapa
uapaya yang dapat dilakukan. Pertama, mengembalikan watak dasar pembangunan
ekonomi nasional pada sektor pertanian dan industri pengolahan. Kealpaan
terbesar kita selama ini terjadi kerena mengutamakan sektor non-treadeable (sektor keuangan,
asuransi, pengangkutan, komunikasi, perdagangan, hotel, restoran) serta
mengabaikan sektor treadeble (pertanian
dan industri). Imbasnya, sektor pertanian sepanjang 2005-2012, tercatat tumbuh
di bawah 4 persen, kecuali 2008 tumbuh 4,83 persen, kontras dengan sektor non-treadeable yang tumbuh di atas 5
persen setiap tahun. Disinyalir itulah penyebab melambatnya penurunan
kemiskinan dan pengangguran di Indonesia meski pertumbuhan ekonomi 2006-2012
diatas 6 persen pertahun (kecuali 2009 tumbuh 4,58 persen).
Hasil pendapatan
program perlindungan sosial BPS 2011 menunjukkan, 9,79 juta rumah tangga (RT)
atau 60,97 persen dari total RT status kesejahteraan 30 persen terendah
menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian (Kadir, 2013). Sektor pertanian
juga tumpuan hidup 60 persen angkatan kerja, khususnya di desa. Untuk itu,
mendesak dilakukan pengembangan sektor industri berbasis pertanian dan maritim.
Tak bisa tidak, wajib ada peningkatan anggaran untuk sektor pertanian (dana
riset, subsidi pupuk, benih, obat-obatan hama penyakit, dan peralatan tani).
Kedua, mendorong
pembangunan ekonomi kawasan timut Indonesia (KTI). Sesuai dengan amanah
konstitusi negara harus mewujudkan masyarakat adildan makmur, artinya kita
harus menciptakan keadilan dalam pembungan ekonomi antar wilayah di Indonesia.
Tapi saying, pembangunan masih terkonsentrasi di kawasan barat Indonesia (KBI),
utamanya Jawa.
Mengacu data BPS
2012, 67,63 persen perputaran ekonomi terpusat di Jawa, 23,77 persen di
Sumatera, dan sisanya sebesae 18,6 persen di KTI. Bahkan, pertumbuhan ekonomi
di Bali dan Nusa Tenggara dalam tiga tahun terakhir mengalami tren penurunan
dari 2,73 persen pada 2010 menjadi 2,65 persen pada 2011 dan turun lagi 2,51
persen pada 2012.Demikian pula di Maluku dan Papua. Dua daerah itu tumbuh 2,42
persen pada 2010 namun turun menjadi 2,13 persen pada 2011 dan turun lagi
menjadi 2,06 persenn pada 2012. Ketimpangan juga terjadi pada realisasi
investasi. Laporan BKPM semester pertama 2013 menunjukkan, realisasi investasi
di Jawa tercatat Rp 109,5 triliun, sedangkan di luar Jawa hanya 83,3 triliun (Sindo, 25/7).
Karena itu,
pemerintah harus mendorong sungguh-sungguh pembanguan di luar Jawa, khususnya
KTI. Terus dikebut pembangunan infrastruktur (jembatan, pelabuhan, bandara) dan
peningkatan kualitas SDM. Juga menciptakan rasa aman bagi investor.
Ketiga,
memperluar negara tujuan dan komoditas ekspor. Kelemahan kita selama ini adalah
masih terpaku pada pangsa pasar ekspor ke Jepang, Tiongkok, AS, India, dan
Eropa, yang rawan bila terjadi guncangan ekonomi di kawasan itu. Seriuslah
menggarap pasar Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika, Rusia, dan lain-lain.
Keempat,
menigkatkan produktivitas tenaga kerja. Kualitas SDM berkorelasi positif dengan
produktivitas tenaga kerja. Untuk itu, meningkatkan kualitas SDM melalui
pemberian training pengembangan diri,
pemberdayaan karyawan yang berkesinambungan, penggalakan penerapan teknologi
modern dalam produksi perlu terus diupayakan karena akan dapat memangkas biaya
dan meningkatkan kualitas produksi.
Kelima, terus
memberantas korupsi, menekan biaya siluman (pungli, pajak liar, dan lain-lain),
serta mencegah ekonomi biaya tinggi secara berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah membaca. Jika ada masukan silahkan beri komentar :)
Sekali lagi Terimakasih